Diawali Ceng Beng, Diakhiri Sipiso Piso [HARI 3-4]

Sebelumnya: Kuliner Kuala, Kuliner Binjai, Kuliner Saudara Sendiri [HARI 2]

Ini Dia, Ceng Beng!

Ceng Beng oh Ceng Beng, akhirnya saya turut serta juga di perayaan ini pada hari ketiga saya berada di Medan. Yeay! Sebelumnya memang saya sama sekali tidak tahu perayaan Ceng Beng itu seperti apa, apa saja yang dilakukan, apa yang harus disiapkan, dan siapa saja yang harus kita ‘doakan’. Namun hari itu, saya diajak mengenal dan tahu seperti apa perayaan Ceng Beng itu. Mungkin tepatnya bukan perayaan, hanya pelaksanaan Ceng Beng itu sendiri.

Jadi, setiap anggota keluarga yang masih hidup, datang ke makam anggota keluarga lainnya yang sudah meninggal dengan membawa beberapa hal seperti, hio untuk sembahyang, buah atau kue basah (yang dipercaya akan dimakan oleh arwah), dan juga uang kertas (bukan uang rupiah, tapi).

d5100 (1147)
Pemakaman Tionghoa
d5100 (1145)
Bakar lilin, pasang hio, kemudian “menyapa”.

Saya sendiri nggak paham, sebetulnya bagaimana awal mulanya masyarakat Tionghoa melaksanakan kegiatan Ceng Beng ini. Hanya saja, saya mencoba memandangnya dari sisi lain. Ceng Beng ini adalah acara yang bisa mempertemukan sebagian besar dari anggota keluarga besar. Karena makam yang didatangi juga adalah makam anggota-anggota keluarga besar yang sudah berpulang dan jumlahnya cukup banyak. Dengar punya dengar, Ceng Beng ini sendiri menjadi peringatan yang lebih “penting” dibandingkan Tahun Baru Cina. Hmm, kok bisa ya?

Masih dalam rangka Ceng Beng, selain mengunjungi makam para tetua-tetua (kebanyakan, saya tidak kenal), saya juga mengunjungi sebuah rumah abu yang menyimpan abu dari jenazah nenek saya dari papa. Sama seperti mengunjungi makam yang lain, saya juga membawa hio, makanan, buah, kue-kue, dan uang kertas. Bedanya, makanan kali ini jauh lebih banyak karena tingkat relasinya juga sangat dekat. Begitu kata papa dan tante-om saya yang merupakan anak langsung dari almh. nenek saya itu.

d5100 (1160)
Sebuah VIHARA, di mana tersimpan abu jenazah nenek saya (dari papa).

Berastagi Resort hingga Sidebuk-debuk

Ketika tradisi Ceng Beng sudah dilakukan, maka sudah tercapai juga tujuan utama saya dan papa pergi ke Medan. Karena masih ada beberapa hari yang akan saya habiskan di Medan, maka bersama keluarga papa saya, kami semua langsung berlibur ke daerah B(e)rastagi, Sumatera Utara. Pengejaan nama Berastagi memang beragam, di sebagian plang, ada yang menuliskan Berastagi, namun ada juga yang menuliskan Brastagi.

Sebelum berangkat ke Berastagi, kami menyempatkan diri mampir di satu tempat makan Tau Kua He Ci di Jalan Pahlawan, kawasan Binjai. Isi makanan ini mirip seperti Lap Choi. Isinya tahu goreng, udang, kangkung, dan gorengan serupa ngo hiong (katanya dari kepiting). Rasa kuah kentalnya lebih didominasi rasa asam, namun tidak begitu asam. Enaknya kalau ditambahkan sedikit sambal, dimakan pas lagi hangat-hangat, dan ditemani kerupuk. Hmm.

d5100 (1163)
Tau Kua He Ci

Setelah makan, saya melanjutkan perjalanan dari Binjai ke Berastagi. Di kawasan ini, saya dan keluarga menginap di komplek villa bernama Berastagi Resort. Beberapa villa di sini memang disewakan bagi mereka yang sedang berjalan-jalan di kawasan Berastagi. Karena total anggota keluarga saya yang berlibur ke sana ada lebih dari 10 orang, maka menyewa villa adalah pilihan yang pas. Selain bisa berkumpul bersama dalam satu rumah (villa) yang besar, kami juga bisa memasak sendiri makan malam kami di sana sebab di villa itu ada dapurnya. Lengkap dengan kompor dan gasnya. Lumayan, kan sudah belanja bahan makanan juga di Brastagi Resort satu hari sebelumnya.

d5100 (1192)
Pemandangan pagi di sekitar Villa

Posisi villa yang kami sewa memungkinkan kami untuk bermain ayunan dan jungkat-jungkit. Buat saya sendiri, hiburan sederhana ini benar-benar hiburan yang ‘mendekatkan’. Saudara sepupu saya yang ikut ke sana, kan kebanyakan masih kecil-kecil, jadi saya sebagai saudara yang tertua berusaha untuk menjaga dan mengakrabkan diri pada mereka. Dan mainan-mainan sederhana seperti ayunan dan jungkat-jungkit itu berhasil memproduksi senyum dan tawa di wajah masing-masing.

d5100 (1216)
MUKANYAA :”

d5100 (1214)

Oh iya, malam sebelum kami bermain ayunan dan jungkat-jungkit di villa, saya dan keluarga saya menuju pemandian air panas Sidebuk-debuk untuk menyegarkan badan. Haha. Lama perjalanan dari Berastagi Resort ke sini hanya membutuhkan waktu selama setengah jam dengan menggunakan mobil. Pemandian air panas Sidebuk-debuk ini katanya bagus untuk kesehatan dan juga untuk kulit, karena mengandung unsur belerang. Kolam-kolam pemandian yang disediakan cukup banyak, dan suhu air panasnya pun beragam.

Saya sendiri nggak tahu waktu itu kolam yang saya pilih ada di suhu berapa, yang pasti ketika saya merendam kedua kaki saya, itu rasanya panas banget dan kaki langsung bereaksi gatal-gatal. Tapi setelah ditahan sekitar 5 menit, dan saya perlahan mulai merendamkan diri hingga pinggang, rasanya malah jadi rileks dan enak. Setiap sepuluh menit, saya keluar dari kolam pemandian untuk merasakan udara segar. Katanya, tidak baik juga kalau terlalu lama berendam.

Kira-kira setelah 25 menit mencelupkan diri sendiri ke dalam kolam pemandian air panas itu, saya memutuskan untuk membilas diri karena badan perlahan sudah mulai merasa segar. Ajaibnya, kulit saya yang sedang dalam kondisi ngelotok-lotok akibat terbakar matahari pantai beberapa saat sebelumnya, langsung pulih dari kondisi kulit ularnya. Puji Tuhan. Mungkin air panas belerang tadi berhasil merontokkan kulit-kulit mati saya. Yeay!

*foto Sidebuk-debuknya nggak ada dikarenakan kondisi kamera yang kehabisan baterai. Poor me.*

Misa Minggu Paskah di Gereja St. Fransiskus Asisi Inkulturasi Karo

Pada hari minggu Paskah, yakni satu hari setelah malam sebelumnya saya bermain di Sidebuk-debuk, saya dan papa sebagai penganut agama Katolik memutuskan untuk mencari Gereja Katolik di kawasan setempat. Saya pun menemukan satu Gereja Katolik dengan bentuk bangunan seperti rumah adat Batak Karo dan nyatanya, gereja itu memang gereja inkulturasi Karo.

d5100 (1165) d5100 (1168)

Sebelum misa dimulai, saya menyempatkan diri untuk melihat komplek bangunan gereja tersebut. Tanahnya masih luas dan dengan udara yang segar di daerah Berastagi, gereja ini benar-benar teduh. Interiornya juga luas dan desain bangunannya memang betul-betul tradisional dan memancing ketertarikan saya. Misa Minggu Paskah di sana saya ikuti selama 2,5 jam dan setelah itu, saya langsung menuju tempat wisata yang jadi tujuan utama, Air Terjun Sipiso Piso! Yeaaay!

d5100 (1174)
SE-SUDUT HALAMAN Gereja St. Fransiskus Asisi

Sipiso Piso, Perjuangan Turun dan Naik Tebing (Cukup) Curam

Di hari keempat saya di Medan, saya akhirnya diberi kesempatan (oleh alam dan oleh para anggota keluarga) untuk mengunjungi air terjun Sipiso Piso yang terletak di Desa Tongging, Sumatera Utara. Jujur, tempat ini adalah salah satu target saya mengunjungi Sumatera Utara. Awalnya sih, papa saya nggak mau ke tempat ini karena jauh, tapi entah bagaimana ceritanya, akhirnya semesta mendukung saya untuk berhasil menginjakkan kaki di kawasan ini. Lega!

Perjalanan dari penginapan saya di Berastagi menuju Sipiso Piso memakan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam. Kalau perjalanan dimulai dari kota Medan, mungkin akan memakan waktu sekitar 4 jam, jadi harus siap-siap bawa banyak perbekalan. Jalanan menuju Sipiso Piso ini cukup berkelok-kelok dan naik ke atas. Sama juga sih dengan jalanan di Berastagi, berkelok-kelok seperti kawasan Puncak, Jawa Barat.

Sesampainya di kawasan air terjun Sipiso Piso di Desa Tongging, saya memutuskan untuk tak langsung turun ke bawah. Saya membiarkan kedua mata saya (empat sebenarnya dengan kaca mata) untuk menikmati pemandangan yang betul-betul cantik tak terperi. Saya bisa melihat sedikit bagian dari Danau Toba yang belum pernah saya lihat seutuhnya. Saya bisa mengira-ngira seperti apa rupa Pulau Samosir dari satu titik yang agak jauh dari posisi aslinya. Saya bisa melihat hamparan gunung yang hijau menjulang tinggi dan membentang luas dengan segala pepohonan dan kerimbunannya. Saya bisa melihat aliran sungai di bawah yang dikelilingi oleh batu-batu kali besar. Dan saya bisa melihat tumpahan air dari salah satu celah gunung yang tersulap oleh alam menjadi hempasan air terjun setinggi 120 meter. THIS IS MORE THAN ANYTHING I COULD ASK FOR. Bagus. Banget!

d5100 (1226)
(1)
d5100 (1231)
(2)
d5100 (1235)
(3)
d5100 (1236)
(4)
d5100 (1237)
SIPISO PISO dari atas.

Kalau boleh curhat, waktu itu sebenarnya perut saya sedang tidak enak. Biasa, kalau nggak maag, ya masuk angin. Tapi karena niat saya yang sudah bulat lat lat dan kondisi saya yang tidak-terlalu-parah-hingga-guling-guling-dan-terkapar, akhirnya saya tetap memutuskan untuk menuruni ratusan (atau ribuan) anak tangga demi untuk mencapai titik bawah hempasan air terjun Sipiso Piso. Menurut informasi yang saya kumpulkan dari cuap-cuap sekitar, dulunya sebelum ada anak tangga ini, akses untuk menuju titik bawah Sipiso Piso ini sangat sulit dan terjal. Beruntung, anak tangga ini segera diadakan untuk mempermudah para pengunjung yang ingin merasakan keindahan satu dari sekian banyak air terjun tinggi di Indonesia ini.

d5100 (1243)
Salah satu bagian anak tangga.

Dengan bermodalkan niat yang sudah saya singgung tadi, saya berhasil menuju titik paling bawah Sipiso Piso dalam waktu sekitar setengah jam. Karena jalannya menurun dan hanya sedikit anak tangga yang mengarah naik, saya jadi tidak begitu merasa lelah. Hingga saya hampir tiba di bawah, saya benar-benar masih tidak percaya bahwa di depan mata saya terhampar harta alam yang begitu indah dan segar.

d5100 (1252)
Pemandangan ketika sudah setengah jalan.
d5100 (1246)
Pemandangan ketika masih seperempat jalan. Lihat garis-garis kuning itu? Itu adalah pegangan anak tangga sepanjang jalan menuju ke bawah. Jadi ya, itu garis anak tangganya 🙂

Dari kejauhan (belum sampai di titik terdekat dengan air terjun), cipratan-cipratan air terjun mulai terasa dan membuat saya kesulitan mengambil gambar dengan kamera yang tak memiliki perlindungan lensa. Namun begitu, yang terpenting mata saya bisa menangkap dan menyimpan itu dalam ingatan, betul?

d5100 (1256)
SEDIKIT LAGI
d5100 (1264)
SIPISO PISO.

d5100 (1261)

Selepas menyimpan kamera dan meletakkan semua barang-barang yang rentan air —saya hanya nekat membawa handphone saja untuk mengambil foto—, saya langsung menuju titik yang paling dekat dengan air terjun Sipiso Piso. Setelah mantap menginjakkan kaki di situ bersama dengan empat orang sepupu saya yang (semuanya) lebih muda, saya berdiri dan mencoba merasakan sensasi yang alam berikan pada saya. Cipratan air yang seolah memandikan saya, suara keras air yang jatuh dan terjun dari atas, suara debit air yang deras, serta hawa dingin yang muncul tak lama setelah baju dan badan saya basah, adalah sekian dari sekian banyak rasa dan pengalaman yang teraduk tercampur menjadi satu saat itu. Kekaguman yang saya rasakan, kebanggaan karena telah mencapai titik itu, membuat saya semakin menggigil di bawah sana. Thank God 🙂

Usai menyeburkan diri ke dalam rasa syukur yang amat sangat di titik yang terdekat, saya kembali ke tempat saya menitipkan barang pada tante saya. Tempat itu juga merupakan sebuah warung kecil yang berada paling dekat dengan deru arus air terjun Sipiso Piso. Saya menyesap segelas susu jahe hangat hanya untuk sekadar menciptakan rasa hangat di dalam tubuh saya yang terbalut baju basah. Ah! Nikmat sekali saudara-saudara.

Setelah merasa puas dan punya cukup tenaga untuk kembali naik ke atas, saya, tante saya, dan keempat sepupu saya perlahan bergerak menuju mulut anak tangga paling bawah. Memandang ke atas membuat saya sedikit kisut juga semangatnya, tapi masa iya saya harus tinggal terus di bawah? Saya harus kembali ke atas. Langkah demi langkah di awal perjalanan naik masih oke-lah. Sampai setengah perjalanan, nafas mulai terengah-engah, keringat mulai bercucuran, ditambah kepala mulai pusing merasa masuk angin (efek baju basah). Beberapa kali saya melihat ada jalan pintas di sela-sela perjalanan. Jalan pintas itu membuat saya tidak perlu repot-repot memutar ke ujung dan melangkahkan kaki di atas banyak anak tangga. Hanya saja, satu tantangannya, jalan pintas itu hanya mengandalkan akar pohon, undakan-undakan tanah keras, dan bahayanya, jalan pintas itu cukup curam.

Hingga akhirnya saya berhasil sampai lagi di atas, total jalan pintas yang saya lewati ada tiga. Pertama, jalan pintasnya tidak terlalu tinggi namun memang sedikit curam. Yang paling parah memang jalan pintas yang kedua. Jalan ini betul-betul memiliki kemiringan yang curam dan minim batu untuk dijadikan pijakan dan pegangan. Ah, saya ngeri kalau mengingat-ingat jalan ini. Yang lebih tak terlupakan lagi, yang memanjat lewat jalan pintas ini bukan hanya saya, melainkan juga tante saya dan tiga orang anaknya, serta seorang sepupu saya yang lain lagi. Keinginan untuk lebih cepat sampai ternyata sanggup mengalahkan ketakutan akan miringnya lintasan naik ya :”. Yang ketiga itu, jalan pintas yang kemiringannya tidak terlalu curam dan tidak terlalu seram. Ah, bagaimanapun juga saya berhasil menginjakkan kaki saya di atas dan membawa banyak cerita dari Sipiso Piso. Yeaaaaaaaaaaay!

Selanjutnya: Kuliner Medan, Oleh-oleh Tak Dilupakan [HARI 5]

Leave a comment